Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wr wb
Pandangan Ibn Taymiyyah tentang Maulid dan Penyimpangan
Kaum
Salafi dari Pandangannya (Kutipan berikut merupakan pandangan Ibn
Taymiyyah tentang maulid sebagaimana diuraikan dalam kitabnya,
al-Fatâwâ:26)
Demikian halnya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan
menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Isa,
atau karena rasa cinta kepada Nabi saw dan untuk memujanya, Allah swt
akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini, bukan atas
kenyataan bahwa itu suatu bidah … Merayakan dan menghormati kelahiran
Nabi saw dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, sebagaimana
dilakukan oleh sebagian orang, adalah baik, dan padanya ada pahala yang
besar, karena niat baik mereka dalam menghormati Nabi saw.
Karena kesetiaan mereka kepada Ibn Taymiyyah, tampaknya kaum Salafi
tidak dapat memaafkannya atas ucapannya ini. Seorang editor majalah
kaum Salafi, Iqtidhâ’, Muhammad
al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut. Di
dalamnya ia berteriak keras, “Kayfa yakûnu lahum tsawâb ‘alâ hâdza? …
Ayyu ijtihâd fî hâdzâ?? (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh
pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini??)” Para
ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang
menyangkut peringatan maulid ini. Mereka mengganti sikap Ibn Taymiyyah
tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri, padahal sikap Ibn
Taymiyyah tersebut mestinya cukup buat mereka. Pengarang Salafi yang
lain, Manshûr Salmân, juga bersikap demikian dalam menerangkan al-Bâ‘its
‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû Syâmah, karena Abû Syâmah bukannya
mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, “Sungguh itu
suatu bidah yang patut dipuji dan diberkati.”
Dalam teks yang disebutkan di atas, Ibn Taymiyyah juga menyebutkan suatu
fatwa oleh Ahmad ibn Hanbal, imamnya mazhab fikih Ibn Taymiyyah,
tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang
pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Alquran,
beliau mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan
emas.”
Apakah Ibn Taymiyyah sedang mempromosikan bidah tatkala beliau
membolehkan peringatan maulid “sebagaimana dilakukan oleh sebagian
orang”? Tidak. Beliau tidak hanya membolehkannya, tetapi beliau
menyebutkan pula bahwa peringatan maulid yang mereka lakukan itu “baik
dan padanya ada pahala”. Apakah Imam Ahmad sedang melakukan suatu bidah
tatkala beliau membolehkan menghiasi Alquran dengan emas? Jawaban atas
kedua pertanyaan tersebut adalah tidak.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi saw. oleh Ibn Taymiyyah ini,
yang oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu
kritik atas peringatan maulid, telah disebut-sebut oleh para ulama Suni
seperti Sa‘îd Hawwâ, Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâlikî, ‘Abd al-Karîm
Jawwâd, al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î, dan dua syekh dari golongan
Qarawiyyin, yaitu ‘Abd al-Hayy al-Amrûnî dan ‘Abd al-Karîm Murâd.27
Pendapat Ibn Taymiyyah tentang Halaqah Zikir
Berikut adalah pandangan Ibn Taymiyyah mengenai pertemuan-pertemuan
untuk berzikir bersama: Ibn Taymiyyah pernah ditanya mengenai
orang-orang yang berkumpul di dalam masjid untuk berzikir dan membaca
Alquran, berdoa kepada Allah, membiarkan kepalanya terbuka tanpa turban
dan menangis, padahal niatnya bukanlah untuk ria, juga bukan untuk
pamer, tetapi berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt
semata: apakah itu dibolehkan atau tidak? Beliau menjawab: “Segala puji
bagi Allah swt, adalah baik dan dianjurkan oleh syariah, untuk
berkumpul bersama membaca Alquran, membaca zikir, dan berdoa.”28
Ibn Katsîr Memuji Malam Maulid
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî menyebutkan bahwa Ibn Katsîr, seorang ahli
hadis pengikut Ibn Taymiyyah, “pada hari–hari terakhir hidupnya menulis
sebuah kitab berjudul Mawlid Rasûl Allâh yang tersebar luas.29 Kitab
tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi
saw.”30
Dalam kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam kelahiran Nabi
saw. adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam
yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang,
dan tak ternilai harganya.”31
Fatwa al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî tentang Kebolehan Memperingati Maulid Nabi Muhammad sallallahu alayhi wasalam.
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî berkata:
Syekh-Islam,
seorang tokoh hadis pada masanya, Ahmad ibn Hajar (al-‘Asqalânî) pernah
ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw. Beliau
memberikan jawaban sebagai berikut:
Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi
saw, itu merupakan suatu bidah yang kita tidak menerimanya dari para
saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama
Hijriah. Meskipun demikian, praktik tersebut melibatkan bentuk-bentuk
yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji. Apabila dalam praktik
peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja,
dan tidak melakukan yang sebaliknya, maka itu bidah yang baik, tetapi
bila tidak demikian, maka tidak.
Dalil dasar dari nas yang bisa dipercaya untuk merujuk keabsahannya
telah saya temukan, yaitu suatu hadis sahih yang dimuat dalam kumpulan
Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, bahwa Nabi saw. datang ke Madinah
dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam
(Asyura), maka beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka
menjawab: “Hari ini adalah hari Allah swt menenggelamkan Firaun dan
menyelamatkan Musa a.s., maka kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur
kepada Allah Taala.”
Dalil ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah swt atas
karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk
pemberian nikmat dan penghindaran dari bencana. Kita mengulang rasa
syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan
menyatakan syukur kepada Allah swt dalam berbagai bentuk peribadatan
seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau membaca Alquran …
Lantas, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi saw.,
Nabi pembawa rahmat, pada hari ini? Melihat kenyataan demikian, kita
seharusnya memastikan untuk memperingatinya pada hari yang sama,
sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan tanggal sepuluh
Muharam di atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini
penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan
sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun,
pengecualian apa pun dapat diambil dalam pandangan semacam ini.”32
Pandangan Ulama Terdahulu tentang Maulid
Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad ibn Zaynî Dahlân, “Memperingati hari
kelahiran Nabi saw. dan mengingat Nabi saw. itu dibolehkan oleh ulama
muslim.”33
Imam al-Subkî mengatakan, “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi
saw, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita
merasakan sesuatu yang khas.”
Imam al-Syawkânî mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi
saw.”34 Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki
pandangan yang sama dalam kitabnya, al-Mawrid al-Râwî fî al-Mawlid
al-Nabawî, yang ditulis secara khusus untuk mendukung perayaan hari
kelahiran Nabi saw.
Imam Abû Syamah, guru Imam al-Nawawî, berkata:
Bidah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan
hari kelahiran Nabi saw. Pada hari tersebut orang-orang memberikan
banyak sumbangan, melakukan banyak ibadah, menunjukkan rasa cinta yang
besar kepada Nabi saw., dan menyatakan banyak syukur kepada Allah Swt.
karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar
mengikuti sunah dan syariah Islam.35
Imam al-Syakhawî mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi saw.
dimulai pada tiga abad setelah Nabi saw. wafat. Seluruh muslimin
merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara beribadah
kepada Allah swt, bersedekah, dan membaca riwayat hidup Nabi saw.”
Hafiz Ibn Hajar al-Haytsamî mengatakan, “Sebagaimana orang-orang Yahudi
merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur kepada Allah swt,
kita pun mesti merayakan maulid.” Beliau pun mengutip hadis yang telah
disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di Madinah …” Ibn Hajar
kemudian melanjutkan:
(Selayaknya) orang bersyukur kepada Allah swt atas rahmat yang telah Dia
berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar
ataupun keterhindaran dari bencana. Hari tersebut dirayakan setiap
tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur terlahir dalam berbagai
bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan membaca
Alquran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan
Nabi saw., seorang Nabi penebar rahmat, pada hari maulid?
Ibn al-Jawzî (w. 579) menulis sebuah buku kecil yang berisi syair dan
riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam perayaan maulid. Buku itu
berjudul Mawlid al-‘Arûs,36 dan beliau membuka dengan kata-kata,
“Al-hamd li Allâh al-ladzî abraza min ghurrat ‘arûs al-hadhrah shubhan
mustanîrah (Segala puji bagi Allah swt yang telah mengeluarkan dari
pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari yang semburat dengan sinar
cemerlang).”
Dianjurkan untuk Memperingati Maulid
Imam al-Suyûthî mengatakan:
Alasan
berkumpul untuk salat tarawih adalah sunah dan merupakan suatu cara
mendekatkan diri kepada Allah … demikian juga kami katakan bahwa alasan
berkumpul untuk memperingati maulid adalah dianjurkan (mandûb) … dan
merupakan tindakan medekatkan diri kepada Allah … dan niat merayakan
kelahiran Nabi saw adalah baik (mustahsanah) tanpa keraguan lagi.37
Imam al-Suyûthî melanjutkan:
Tentang
kebolehan maulid, saya ambil dasar hukumnya dari sumber sunah yang lain
(di samping hadis tentang Asyura yang dijadikan dasar oleh Ibn Hajar),
yaitu hadis yang ditemukan dalam karya al-Bayhaqî, yang diriwayatkan
oleh Anas, “Nabi saw. menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri setelah
beliau menerima kenabian,” meskipun telah disebutkan bahwa kakeknya,
yaitu ‘Abd al-Muthâlib telah melakukannya pada hari ketujuh setelah
kelahirannya, padahal aqiqah tidak dapat diulangi.38 Oleh karena itu,
alasan bagi tindakan Nabi saw tersebut adalah untuk menyatakan syukur
kepada Allah karena telah mengutusnya sebagai rahmat seluruh alam, dan
menyatakan penghargaannya kepada umatnya, sebagaimana halnya beliau suka
melakukan salat untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, juga
dianjurkan kepada kita untuk menyatakan rasa syukur kita atas
kelahirannya dengan berkumpul bersama saudara-saudara kita, memberi
makan orang-orang, dan perbuatan baik lain, serta bergembira.39.
Hadis ini menguatkan hadis di muka tentang bagaimana Nabi saw. menaruh
perhatian khusus terhadap hari Senin sebagai hari kelahiran dan
kenabiannya.
Penegasan Para Penulis “Salafi” Kontemporer perihal Larangan Maulid
Klaim bahwa memperingati maulid itu suatu bidah bukan saja langkah
mengada-ada yang menyimpang dari apa yang telah dikatakan mayoritas
ulama tempo dulu mengenai hal tersebut. Pertama-tama, dan terutama,
klaim tersebut mengandung cacat, baik dari sisi logika maupun
penalarannya, karena ulama telah menetapkan bahwa bidah ada yang baik,
ada yang buruk, dan ada yang biasa saja. Karena itu, tidaklah boleh
melarang sesuatu semata atas dasar anggapan bahwa itu suatu bidah
(kreasi baru) sebelum terlebih dulu menentukan termasuk bidah apakah hal
itu.
Ada
bid‘ah hasanah (bidah yang baik), menurut mayoritas ulama yang telah
menulis tentang bidah, meskipun beberapa ulama, seperti Ibn al-Jawzî dan
Ibn Taymiyyah, beranggapan bahwa semua bidah pastilah bidah sesat
(bid‘ah dhalâlah). Kedudukan mereka dalam masalah ini adalah suatu
kelainan (syâdzdz) dan menyimpang dari norma, sebagaimana bukti-bukti
berikut menunjukkan:
1. Harmalah ibn Yahyâ berkata: “Saya mendengar al-Syâfi‘î berkata:
‘Al-bid‘ah bid‘atâni bid‘ah mahmûdah wa bid‘ah madzmûmah, fa mâ wâfaqa
al-sunnah fa huwa mahmûd, wa mâ khâlaf al-sunnah fa huwa madzmûm (Bidah
itu dua jenis: bidah terpuji dan bidah tercela. Apa yang sesuai dengan
sunah adalah terpuji, dan yang bertentangan dengan sunah adalah
tercela.’”40
2. Hafiz al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm berkata: Ada lima
tipe bidah: yang dilarang (haram), yang tak disukai (makruh), yang
dibolehkan (mubah), yang terpuji (mandûb), dan yang harus (wajib).41
3. Ulama lain yang mengakui kemungkinan adanya yang disebut bidah yang baik (bid‘ah hasanah) adalah:
Abû
Syamah, yang membagi bidah ke dalam bid‘ah mustahsanah/hasanah (bidah
yang dianggap baik) dan bid‘ah mustaqbahah (bidah yang dianggap buruk),
yang terbagi ke dalam muharram (dilarang) dan makruh (tak disukai), pada
sisi lainnya.42
Al-Turkumanî al-Hanafî, yang membagi bidah menjadi bid‘ah mustahsanah
(dianggap baik), yaitu bidah yang mubâhah yutsâbu ‘alayhâ (bidah yang
dibolehkan dan mendapatkan pahala), dan bid‘ah mustaqbahah (dianggap
buruk), seperti yang makruh dan yang haram.43
ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI SAYYIDINA MUHAMMAD
WALLAHUALAM BISSAWAB