Tuesday, 29 October 2013

Tawassul Yang Disyariatkan & Tawassul Yang Dilarang

Tawassul Yang Disyariatkan

Setiap kali ada musibah dan ujian yang menghantui kehidupan manusia seorang Muslim, ia harus kembalikan semuanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia meyakini bahwa Allah-lah, Rabb yang mampu menyingkap hijab-hijab kesulitan, kefakiran dan kepayahan para hambaNya. Dan ia juga meyakini bahwa Dialah yang mampu memberikan pertolongan, kemudahan dan petunjuk. Tidak ada kekuatan lain yang mampu melakukan hal ini selain Dia, Allah Ta’alaa. Terkadang dalam memohon dan berdo’a, manusia sering menggunakan perantara (atau yang disebut dengan tawassul dalam terminology aqidah) antara dirinya dan Allah Ta’alaa. Karena mereka merasa tidak mampu, lemah dan tidak memiliki apa-apa dihadapan Rabbnya. Hal ini mereka lakukan agar do’a dan permohonannya terkabulkan dengan segera.
Namun sebagai manusia muslim, ia harus selalu memperhatikan rambu-rambu Islam dalam masalah tawassul, karena tidak semua bentuk tawassul atau perantaraan yang berkembang dalam masyarakat ini diperbolehkan dalam ajaran Islam. Boleh jadi seorang muslim dalam berdo’a, ia bertawassul dengan kuburan-kuburan, batu-batuan dan pepohonan yang dikramatkan. Bahkan ada yang meyakini adanya kekuatan lain atau penguasa lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang ada di bumi ini.
Tawassul menurut etimologi bahasa Arab artinya: “Sesuatu yang bisa mendekatkan kepada yang lain.” (Mukhtar Ash-Shihah)
Ibnu Atsir di dalam An-Nihayah mengatakan: “(Tawassul adalah) sesuatu yang akan menyampaikan kepada yang lain dan mendekatkan diri dengannya.”
Adapun menurut terminologi syariat, tawassul adalah: “Mendekatkan diri kepada Allah dengan segala bentuk ketaatan dan peribadatan, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan segala bentuk amalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya.” (At-Tawassul Ila Haqiqati Tawassul).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah Kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya.” (QS. Al-Maa’idah: 35).
Qatadah berkata, “Bertaqarrublah kepadaNya dengan ketaatan kepadaNya dan mengamalkan segala yang diridhaiNya.”
Tawassul yang disyari’atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur ’an, dituntunkan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para sahabat. Pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Ada beberapa macam tawassul yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam, yaitu:

1. Tawassul dengan iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, menceritakan tawassul para hambaNya dengan iman:
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Rabbmu’, maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imraan: 193).

2. Tawassul dengan tauhid, seperti dosa Nabi Yunus Alaihis Salam ketika ditelan oleh ikan besar:
“Maka ia menyeru dalam keadaan sangat gelap: ‘Bahwa tak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.’ Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiyaa’: 87-88).

3. Tawassul dengan nama-nama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada­Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.” (QS. Al-A’raaf: 180).
Di antara doa Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam dengan nama-namaNya ialah ucapan beliau:
“Aku memohon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia menilai hasan shahih).

4. Tawassul dengan sifat-sifat Allah, seperti ucapan Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam:
“Wahai Yang Mahahidup lagi Yang Mengatur urusan makhlukNya, dengan rahmatMu aku memohon bantuan.” (Hasan, riwayat at-Tirmidzi).
Syaikh ar-Rifa’i mengatakan, “Mohonlah segala hajat kalian kepada Allah dengan kecintaanNya kepada auliya’Nya.”

5. Tawassul dengan amal-amal shalih, seperti shalat, berbakti kepa­da kedua orang tua, memelihara hak-hak, amanah dan sedekah, dzikir, membaca al-Qur`an, shalawat atas Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam, kecintaan kita kepadanya dan para sahabatnya, serta amal-amal shalih lainnya. Disebutkan dalam Shahih Muslim tentang tiga orang yang tertahan di dalam gua, lalu mereka bertawassul kepada Allah, yang pertama dengan amal shalih berupa memelihara hak buruh, yang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tuanya dan yang ketiga dengan rasa takutnya terhadap Allah, maka Allahpun membebaskan mereka dari gua tersebut.

6. Tawassul kepada Allah dengan meninggalkan kemak­siatan, seperti khamar, zina dan yang diharamkan lainnya. Salah seorang yang terperangkap dalam gua tersebut bertawassul dengan perbuatan zina yang yang ditinggalkannya, lalu Allah membebaskannya dari gua tersebut.
Sebagian kaum muslimin tidak mengerjakan amal shalih dan bertawassul dengannya. Mereka justru bertawassul dengan amalan-amalan orang lain yang sudah mati, dengan menyelisihi petunjuk Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam dan para sahabatnya.

7. Tawassul dengan meminta doa dari para Nabi dan orang-orang shalih semasa hidupnya. Diriwayatkan bahwa seorang yang buta matanya datang kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam seraya mengatakan, “Berdoalah kepada Allah agar Dia memberi kesembuhan kepadaku.” Beliau bersabda: “Jika kamu suka, aku berdoa untukmu dan jika kamu suka, kamu bersabar saja; dan itu lebih baik bagimu.” Ia mengatakan, “Berdoalah!” Kemudian beliau memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna, lalu shalat dua rekaat, dan berdoa dengan doa ini:
“Ya Allah, aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan nabiMu, nabi rahmat. Wahai Muhammad aku menghadap denganmu kepada Rabbku dalam hajatku ini agar hajatku ini diselesaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku, dan berilah aku syafaat melalui (doa)nya.”
Orang itu pun melakukannya sehingga terbebas dari kebutaannya. (Shahih, riwayat Ahmad).
Hadits ini mengandung arti bahwa Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam berdoa untuk orang buta semasa hidupnya, lalu Allah mengabulkan doanya. Beliau memerintahkan kepadanya agar berdoa untuk dirinya sendiri, dan menghadap kepada Allah dengan doa Nabinya, maka Allah menerima doanya. Doa ini khusus semasa hayat beliau Shalallahu’alaihi wa Salam dan tidak boleh berdoa dengannya sepeninggalnya. Karena para sahabat tidak melakukannya, dan orang-orang yang buta tidak bisa mengambil manfaat dari doa itu setelah peristiwa ini.
Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri. Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Tawassul Yang Dilarang

Tawassul yang terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekat-kan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Di antaranya tawassul dengan berdoa kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir, memohon keselamatan dengan perantaraan mereka, dan sejenisnya. Semua perbuatan itu adalah syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan bertentangan dengan tauhid.
Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dalam bentuk doa permohonan seperti meminta sesuatu dan meminta diselamatkan dari bahaya: atau doa ibadah seperti rasa tunduk dan pasrah di hadapan Allah, kesemuanya itu tidak boleh dialamatkan kepada selain Allah. Memalingkannya dari Allah adalah syirik dalam berdoa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Rabbmu berfirman:”Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina…” (QS. Al-Mukmin : 60)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat di atas ganjaran bagi orang yang enggan berdoa kepada-Nya, bisa jadi dengan berdoa kepada selain-Nya atau dengan tidak mau berdoa kepada-Nya secara global dan rinci, karena takkbur atau sikap ujub, meski tak sampai berdoa kepada selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Berdoalah kepada Allah dengan rasa tunduk dan suara perlahan..”
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berdoa kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya.
Segala bentuk penyamaan Allah dengan selain-Nya dalam ibadah dan ketaatan, maka itu adalah perbuatan syirik terhadap-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka. “ (QS. Al-Ahqaaf : 5)
“Barangsiapa yang menyeru bersama Allah Ta’ala sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menganggap orang yang berdoa kepada selain-Nya, berarti telah mengambil sesembahan selain-Nya pula. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.(QS. Faatir : 13-14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu, bukan selain-Nya. Bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar doa, apalagi untuk mengabulkan doa tersebut. Kalaupun dimisalkan mereka dapat mendengar, merekapun tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau memberi mudharrat, dan tidak memiliki kemampuan atas hal itu.
Sesungguhnya kaum musyrikin Arab di mana Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam diutus, mereka menjadi orang-orang kafir karena kemusyrikan mereka dalam berdoa. Karena mereka juga berdoa kepada Allah dengan tulus ketika mendapatkan kesulitan. Kemudian mereka menjadi kafir kepada Allah di kala senang dan mendapatkan kenikmatan dengan cara berdoa kepada selain-Nya. Allah berfirman:
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al Isra’ : 67)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atannya”. (QS.Yunus : 22)
Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi:

1. Tawassul kepada orang-orang yang sudah mati, meminta berbagai hajat dari mereka, dan meminta pertolongan kepada mereka sebagaimana realitas hari ini. Mereka menyebutnya sebagai tawassul, padahal bukan demikian. Karena tawassul ialah meminta kepada Allah dengan perantara yang disyariatkan, seperti iman, amal shalih dan Asma’ullah al-Husna. Sementara berdoa kepada orang-orang yang sudah mati adalah berpaling dari Allah, dan itu termasuk syirik besar; berdasarkan firmanNya:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus: 106).

2. Adapun tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasul, seperti ucapan Anda: Wahai Rabb, dengan jaah Muhammad berilah pertolongan kepadaku.” Ini adalah bid’ah, karena para sahabat tidak pernah melakukannya, dan karena Khalifah Umar bertawassul dengan al-Abbas semasa hidupnya dengan doanya. Umar tidak bertawassul dengan Rasul setelah kematiannya, ketika meminta turun hujan. Sedangkan hadits: “Bertawassullah dengan jaah (kedudukan)ku” adalah hadits yang tidak punya asal (la ashla lahu), sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tawassul bid’ah bisa membawa kepada syirik. Yaitu jika ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membutuhkan perantara, seperti halnya seorang amir dan hakim. Karena ini sama halnya menye­rupakan Khaliq dengan makhlukNya. Abu Hanifah berkata, “Aku tidak suka memohon kepada Allah dengan (perantara) selain Allah.”

3. Adapun meminta doa kepada Rasul setelah kematiannya, seperti ucapan Anda: “Wahai Rasulullah, berdoalah untukku!” maka ini tidak boleh. Karena para sahabat tidak pernah melakukannya. Dan juga berdasarkan sabda beliau:
“Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim).
Namun bila bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup, dengan doa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepadaNya, maka hal ini diperbolehkan di dalam syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu.
Kemusyrikan sebagian orang pada masa sekarang ini bahkan sudah melampaui kemusyrikan orang-orang terdahulu di jaman jahiliyyah. Karena mereka memalingkan berbagai bentuk ibadah kepada selain Allah seperti doa, meminta keselamatan dan sejenisnya hingga pada saat terjepit sekalipun. Kita memohon keselamatan dan keberuntungan kepada Allah. Dengan demikian hendaklah orang yang berdo’a mengambil perantara agar dikabulkan do’anya dengan perkara-perkara yang dicintai dan disukai oleh Allah, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah. Bukan dengan kebid’ahan yang membuat Allah benci, bukan pula dengan kesyirikan yang membuat Allah murka.

Wallahu a’lam bish-shawab

.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Jika Anda Ingin Berkomentar, Namun Tolong Gunakan Bahasa Yang Baik & Sopan

My Blog List

Pages

Pages - Menu

Followers

Become our Fan

The Amazing of Islam
SEBELUM MEMBACA UCAPKANLAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA'ALA ALI SAYYIDINA MUHAMMAD !!