BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Assalamualaikum Warahmatullahi WabarakatuhMa’iz bin Malik RA
ada suatu kisah dijaman nabi muhammad saw tentang
Seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik
suatu kali Ma’iz bin Malik RA
tergoda seorang
wanita dan melakukan perbuatan terlarang dengan wanita tersebut, padahal
saat itu ia telah menikah. Sebenarnya ketika peristiwa maksiat itu
terjadi, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua,
dan Allah SWT tentunya. Segera setelah peristiwa itu terjadi, Ma’iz
sangat menyesalinya, perasaan dosa terasa selalu meliputinya.
Suatu ketika ia tidak mampu lagi menguasai kerisauan hatinya, maka ia
datang kepada Umar bin Khaththab dan berkata, “Orang yang jauh dari
kebaikan ini (yakni dirinya sendiri) telah melakukan perbuatan nista
(zina)!!”
Kemudian Ma’iz menceritakan peristiwa yang dialaminya
dan kerisauan hatinya. Di luar dugaan, Umar yang terkenal tegas ini
berkata, “Bertaubatlah kepada Allah, dan tutupilah itu, karena
sesungguhnya Allah telah menutupinya. Bertaubatlah, sesungguhnya Allah
selalu menerima taubat hamba-Nya. Orang-orang biasanya hanya bisa
mencela, tetapi itu tidak mengubah apapun (kecuali jika engkau
bertaubat)!!”
Walaupun nasehat Umar itu begitu jelasnya, tetapi
belum bisa menyembuhkan kerisauan hatinya. Karena itu ia datang kepada
Abu Bakar untuk menceritakan kerisauan hatinya, tetapi ia memperoleh
jawaban yang lebih kurang sama dengan jawaban Umar.
Tentu saja
sahabat sekaliber Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sangat tahu hukuman
bagi pezina yang telah pernah menikah adalah rajam. Tetapi tentunya
jawaban yang diberikan mereka berdua bukanlah bermaksud “menolak” hukum
tersebut. Mereka berdua adalah didikan Rasulullah SAW yang tidak hanya
mencakup keislaman (syara’ atau masalah hukum) saja, tetapi jauh
menjangkau kepada masalah iman dan akhlak (ihsan). Mereka berdua bersama
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah yang terdekat kemuliaan
akhlaknya dengan akhlak Nabi SAW. Mereka berdua memberi nasehat seperti
itu karena mereka sangat mengenal Allah, sebagaimana diajarkan Nabi SAW,
bahwa Allah sangat gembira menerima (menemukan) kembali hamba-Nya yang
bertobat, melebihi kegembiraan manusia yang sedang sangat gembiranya
(Lihat Kisah dalam “Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul
“Sungguh Allah Lebih Gembira”).
Ma’iz menemui seorang
sahabatnya yang bernama Huzal dan menceritakan permasalahan yang
dialaminya, termasuk pertemuan dan nasehat yang diberikan oleh Umar dan
Abu Bakar. Huzal yang juga salah seorang sahabat itu hanya berfikir
logis. Jika ia telah menemui Umar dan Abu Bakar tetapi tidak memperoleh
solusi, mengapa tidak diteruskan mencari solusi kepada Rasulullah SAW.
Huzal menyarankannya menemui Rasulullah SAW dan Ma’iz menyetujuinya.
Ma’iz segera mendatangi Rasulullah SAW yang saat itu sedang bersama
beberapa sahabat lainnya. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina!!”
Nabi SAW
memandangnya tajam, kemudian berpaling dari Ma’iz tanpa berkata apa-apa.
Ma’iz kembali berdiri di hadapan beliau dan mengulang ucapannya. Tetapi
sekali lagi beliau hanya menatapnya kemudian berpaling tanpa berkata
apapun. Ketika peristiwa itu telah berulang sampai ke empat kalinya,
Nabi SAW bersabda kepada para sahabat lainnya, “Apakah ia telah gila
atau sinting? Atau kalian meragukan kesehatan akalnya?”
“Tidak, ya Rasulullah!!” Kata para sahabat.
Kemudian Nabi SAW menghadapkan wajah kepada Ma’iz dan berkata, “Benarkah engkau telah menyetubuhinya?”
Nabi SAW masih menegaskan lagi penjelasannya tentang
persetubuhan itu dengan mendetail, bahkan beliau membuat perumpamaan
dengan pensil celak yang dimasukkan ke botol celak, seperti timba yang
dimasukkan ke dalam sumur. dan Ma’iz tetap mengakui melakukannya.
Beliau masih saja berkata menegaskan, “Tahukah kamu apa zina itu?”
Ma’iz menjawab, “Tahu, ya Rasulullah, aku menggaulinya seperti halnya kalau aku menggauli istriku!!”
Setelah penjelasan mendetail beliau sebelumnya, sepertinya
pertanyaan itu tidak perlu. Beliau memang telah mendapat laporan tentang
Ma’iz bin Malik ini dari Abu Bakar dan Umar, dan beliau setuju dengan
nasehat yang diberikan mereka berdua. Tampaknya dengan pertanyaan
tersebut beliau ingin “mengulur waktu” dan menemukan alasan bagi Ma’iz
untuk kembali kepada saran yang diberikan oleh Abu Bakar dan Umar. Tentu
saja semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada umatnya,
khususnya kepada Ma’iz yang sangat beliau kenal kesalehannya ini. Hanya
saja pada saat itu ia sedang tergelincir.
Sebaliknya pada
Ma’iz sendiri, ketergelincirannya yang hanya sekali itu membuat dunianya
gelap. Bukannya putus asa dari rahmat Allah, tetapi ia ingin kepastian
bahwa dosanya tersebut benar-benar telah diampuni oleh Allah.
Walau telah cukup alasan untuk menjatuhkan vonis “rajam”, tetapi
beliau masih bersabda lagi kepada Ma’iz, “Apa yang sebenarnya engkau
inginkan dengan mengaku seperti ini?”
Ma’iz berkata, “Saya ingin, engkau menyucikan dosa-dosa saya, ya Rasulullah!!”
Maka beliau bersabda, “Rajam adalah kaffarah (penghapus dosa/kesalahan) dari apa yang telah engkau lakukan itu…!!”
Beliau kemudian berpaling kepada sahabat lainnya dan
bersabda, “Bawalah ia ke lapangan mushalla (lapangan untuk shalat id)
dan rajamlah di sana…!!”
Tampak sekali wajah beliau diliputi
kesedihan, dan beliau berpaling agar tidak melihat proses rajam terhadap
Ma’iz tersebut. Mereka membawa Ma’iz ke tempat yang ditentukan dan
merajamnya di sana. Ketika merasakan kesakitan, Ma’iz sempat melarikan
diri, tetapi mereka terus menyusulinya dengan tetap merajam hingga
akhirnya tewas.
Jenazah Ma’iz dibawa kepada Rasulullah SAW di dalam
masjid, kemudian beliau berdiri di mimbar dan berkhotbah, “Wahai
manusia, jauhilah perbuatan zina yang dilarang Allah ini, dan barang
siapa yang terjerumus, hendaklah ia menutupinya…!!”
Sambil memandang
jenazah Ma’iz, beliau bersabda lagi, “Tutupilah perbuatan jahat kalian
dari aku, selama Allah masih menutupinya. Barang siapa yang terjerumus
ke dalam kejahatan hendaklah ia menutupinya (dan bertaubatlah) !!”
Salah seorang sahabat menceritakan bahwa Ma’iz sempat melarikan diri
karena kesakitan, tetapi mereka mengejarnya dan terus merajamnya hingga
tewas. Beliau tampak agak marah dan penuh sesal, kemudian bersabda,
“Mengapa tidak kalian biarkan ia lari??”
Nabi SAW memandang
kepada Huzal yang menyarankan Ma’iz membuat pengakuan kepada beliau, dan
bersabda, “Seandainya engkau menutupi (yakni dosa Ma’iz dan menyarankan
bertaubat seperti Umar dan Abu Bakar), tentu itu lebih baik bagimu!!
Tampak dua orang sahabat saling berbicara cukup pelan, “Lihatlah orang
ini, Allah telah menutupi keburukannya, tetapi jiwanya tidak puas
sehingga ia dirajam seperti anjing…!!”
Walau ucapannya cukup pelan,
tetapi Nabi SAW mendengar (memahami) apa yang mereka katakan. Beliau
turun dari mimbar, dan berjalan keluar diikuti para sahabat lainnya.
Ketika beliau menemukan bangkai keledai, beliau bersabda, “Wahai Fulan
dan Fulan!!”
“Kami disini, ya Rasulullah!!” Kata dua orang sahabat yang tadi ‘membicarakan’ (mengghibah) Ma’iz.
“Kemarilah, dan makanlah bangkai keledai ini!!” Kata Beliau.
Dua orang sahabat itu mendekat kepada Nabi SAW sambil gemetar
ketakutan, dan berkata, “Semoga Allah mengampuni kesalahan engkau, ya
Rasulullah. Siapakah orang yang mau makan bangkai seperti ini?”
Nabi
SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya menyinggung kehormatan saudara
kalian tadi (yakni mengghibah Ma’iz yang telah wafat), jauh lebih buruk
daripada memakan bangkai seperti ini. Demi Allah, sungguh ia sedang
berenang di sungai-sungai di surga!!”Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Sungguh ia sedang bersenang-senang di surga!!”
Wallahu A'lam Bishawab
ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI SAYYIDINA MUHAMMAD